twitter
    Selamat Datang diBlog ini :)

Sunday, May 16, 2010

Waktu yang Sampai

menangislah hati
sekiranya dunia
menahanmu singgah

(Perjalanan, Rudi Harahap)


Seorang pemuda, dan seorang perempuan tua, bersua. pertemuan itu semestinya di payungi duka. penyebabnya, pemuda belia itu mengabarkan kematian ayahnya, kepada perempuan tua. perempuan tua itu merupaka ibu daripada sang ayah yg wafat. Pemuda itupun meneguk tangis sembari mengabarkan berita duka tersebut.

Meledaklah tangis di usia senja tersebut?tatapannya menerawang. Wajahnya begitu teduh seperti permukaan laut yg tenang. Bola matanya belaka yang memancarkan letikan kerinduan. "Beruntung ayahmu, waktunya telah sampai, " suara nenek terdengar lirih.
Mengapa tiada tangis melaung ketika mengetahui kematian anaknya? "Nenek sudah lama merindukan kematian," suara nenek masih lirih ketika mengucapkannya. Kerinduan mengapung di bola matanya. Tiada duka bertahta. Bila nenek tersebut menerima berita duka dengan rindu bergelora, harap maklum, karena ia telah lama menjadi salik. Begitu anak-anaknya dewasa, dan menempuh kehidupan sendiri, kesibukannya mengatur rumah tangga pun usai. ia pun mengalihkan aktifitasnya kepada kesibukan spritual: menghiasi kehidupannya dengan laku peribadatan.
Tidak sekedar ibadah wajib, ia menghiasi kehidupannya, dengan amalan sunnah. Entah telah berapa kali ia mengikuti suluk. Tapi, masih perlukah hitungan matematis, ketika kehidupannya sendiri telah menjadi suluknya? Helaan nafasnya adalah zikir. ia memilih membisu ketika hatinya bergemuruh dengan cinta kepada Allah. Kalaupun bercakap, maka yg diucapkannya adalah kebaikan. Ia seperti penyair sufi Rumi, perkataan yang baik merupakan tanaman mawar dipekarangan rumah...
Siang dan malamnya tenggelam dalam peribadatan. Disaat mencelupkan diri pada lautan zikir, kegenitan duniawi pun menyisih. ia telah lama tidak mengurus kebun karet maupun kekayaan laen suaminya. ia, bahkan,merasa tidak memilikinya. ia telah lama menggunakan konsep pemilikan di dalam ajaran Islam. Milik bagi kaum sufi ialah makanan yg telah dimakan, pakaian yg dikenakan, maupun harta benda yg telah disumbangkan.
Menggentarkanlah kematian bagi orang yg telah mencapai maqam ibadah semacam itu? Kematian, bagi orang-orang yg mencapai derajat demikian, bukan lagi nestapa karena berakhirnya pesta dunia. Memang, Allah didalam Al-Quran telah mensifatkan, "Manusia sangat mencintai kehidupan dunia, sehingga melalaikan kehidupan akhirat (Qs. Al-Qiyaamah:20). Tidak mengherankan, disaat ajal tiba, kita seperti dilukiskan di dalam Al-Quran: "mempertautkan betis kiri dengan betis kanan karena ketakutan meninggalkan dunia" (QS. 75:29).
Bila demikan, mengapa perempuan tua itu, merindukan kematian? Kematian, bagi seseorang yang senantiasa mengisi kehidupan dengan menghampiri-Nya, merupakan gerbang untuk sampai pada-Nya. Di saat membenamkan diri didalam peribadatan, ia merasa tubuh ini merupakan rangka yang "menyusahkan" sehingga mengusik totalitas kebersamaannya dengan khalik. Helaan napas, kendati disarati zikir, membuatnya tak kunjung sampai. Ada batas (hijab) antara dunia nyata dan dunia ghaib.
Maka, kematian merupakan tergulungnya hijab, secara hakiki. Disaat seperti itu, ruh terlepas dari rangka, untuk kembali kepada sang pencipta. Maka, "Hai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Rabbmu dengan hati yang tenang puas lagi diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam jama'ah hamba-hamba-Ku dan masuklah ke dalam Surga-Ku" (Al-Fajr: 27-30).
Dan waktunya pun sampai. ()



Diambil dari buku :

"Esei Kebeningan Hati Pejalan Ruhani" Rudy Harahap.




No comments:

Post a Comment